Tampilkan postingan dengan label akhlak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label akhlak. Tampilkan semua postingan

Selasa, November 25, 2014

Adab Menjenguk Orang Sakit

Posted by Unknown On Selasa, November 25, 2014
hendaknya orang yang membesuk mendoakan orang yang sakit:

لاَ بَأْسَ طَهُورٌ اِ نْ شَآ ءَ اللّهُ

Tidak mengapa, semoga sakitmu ini membersihkanmu dari dosa-dosa, Insya Alloh.” (HR. al-Bukhari).

Hati-hati Terhadap Kufur Nikmat

Posted by Unknown On Selasa, November 25, 2014
Nikmat yang Allah berikan kepada kita sangatlah banyak. Tidak ada seorangpun diantara kita yang mampu menghitungnya. Baik berupa harta, keluarga, kesehatan dan yang paling besar adalah nikmat hidayah iman dan islam. Sebagaimana yang Allah firmankan :

وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ

Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya)” (QS. An Nahl: 53)

Kufur nikmat merupakan lawan dari mensyukuri nikmat. Syukur adalah menampakkan pengaruh nikmat yang telah Allah berikan kepada seorang hamba dari hatinya dengan keimanan, dari lisannya dengan pujian dan dari anggota badannya dengan ibadah serta ketaatan1. Sehingga seorang dapat dikatakan bersyukur jika terpenuhi tiga unsur :
  1. Hatinya meyakini bahwa semua nikmat yang didapatkan adalah berasal dari Allah
  2. Lisannya memuji Allah
  3. Anggota badannya digunakan untuk beramal sholeh
 Barangsiapa yang tidak merealisasikan ketiga perkara tersebut, maka ia telah terjatuh dalam kufur nikmat.
 
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz alu Syaikh menjelaskan dalam kitab At-Tamhid : “Maka wajib bagi seorang hamba memahami benar-benar bahwa setiap nikmat adalah berasal dari Allah. Kesempurnaan tauhid tidak mungkin terwujud tanpa sikap penyandaran setiap nikmat kepada Allah. Penyandaran nikmat kepada selain Allah merupakan kekurangan dari kesempurnaan tauhid dan termasuk dalam kesyirikan kepada Allah"



 Sesungguhnya nikmat pertolongan itu datang dari Allah ta’ala. Allah menjadikan sebab datangnya seseorang untuk terwujudnya pertolongan. Sudah sepatutnya kita menyandarkan hati/tawakal hanya kepada Allah dan bersyukur kepada-Nya.

Allah ta’ala berfirman :

يَعْرِفُونَ نِعْمَةَ اللَّهِ ثُمَّ يُنْكِرُونَهَا

Mereka mengetahui nikmat Allâh, kemudian mereka mengingkarinya” (QS : An-Nahl:83).

Syaikh ‘Utsaimin menjelaskan makna ayat tersebut : “Mereka mengingkari penyandaran nikmat kepada Allah. Mereka menjadikan penyandaran hatinya hanya kepada sebab. Mereka lupa kepada yang menciptakan sebab yaitu Allah subhanahu wata’ala.”




Para ulama merinci orang yang menyandarkan nikmat kepada selain Allah menjadi beberapa keadaan.

1. Jika penyandaran nikmat tersebut dengan maksud berita, serta berita tersebut adalah berita yang benar dan sesuai kenyataan, maka hal ini dibolehkan.

contoh : Seorang mendapat warisan sebuah rumah yang ia tinggali. Kemudian ia di tanya :”Dari mana engkau dapatkan rumah ini?” maka ia menjawab :”Rumah ini warisan dari orang tua saya”

2. Jika penyandaran nikmat tersebut menunjukkan sebab diperolehnya nikmat, maka dirinci menjadi beberapa keadaan :

Sebab tersebut adalah sebab yang tidak nampak dan tidak dapat memberikan pengaruh sama sekali, maka hal ini termasuk kedalam syirik akbar.
Contoh : Seseorang berkata : Seandainya tidak ada wali fulan tidak akan terjadi ini dan itu (dengan keyakinan wali yang telah mati tersebut dapat mengatur apa yang terjadi di dunia)

Sebab tersebut adalah sebab yang diterima secara syari’at atau qodari (yaitu sebab yang diketahui dapat memberikan pengaruh setelah melalui percobaan atau penelitian), maka hal ini diperbolehkan dengan syarat tanpa disertai keyakinan bahwasanya sebab tersebut dapat memberikan pengaruh dengan sendirinya dan tanpa melupakan Dzat yang sesungguhnya telah memberikan nikmat tersebut, yaitu Allah ta’ala

Contoh : Seseorang mendapatkan nikmat sembuh dari suatu penyakit dengan sebab meminum obat tertentu. Namun ia meyakini yang memberikan kesembuhan adalah Allah. Ia mengatakan “Setelah minum obat ini penyakit saya sembuh atas izin Allah”

Sebab tersebut adalah sebab yang nampak, namun bukan merupakan sebab yang dibenarkan baik secara syari’at maupun qodari, dengan tetap diiringi keyakinan Allah yang memberikan nikmat tersebut. Maka hal ini termasuk dalam syirik kecil.

Allah ta’ala memberikan banyak pelajaran kepada kita melalui kisah-kisah yang terdapat dalam Al-Qur’an. Diantara kisah tersebut adalah kisah Qorun yang memiliki harta berlimpah sebagaimana terdapat dalam Al- Qur’an surat Al-Qashash ayat 76 sampai 83. Pada ayat tersebut diceritakan Qorun berlaku sombong atas harta yang ia miliki. Allah berfirman :

قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِنْدِي أَوَلَمْ يَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ أَهْلَكَ مِنْ قَبْلِهِ مِنَ الْقُرُونِ مَنْ هُوَ أَشَدُّ مِنْهُ قُوَّةً وَأَكْثَرُ جَمْعًا وَلَا يُسْأَلُ عَنْ ذُنُوبِهِمُ الْمُجْرِمُونَ

Qorun berkata: “”Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku.” Dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka.” (QS Al-Qashash : 78)

Dalam ayat tersebut, Allah menceritakan kisah Qorun yang tidak mensyukuri nikmat yang telah diberikan kepadanya. Ia tidak memuji Allah yang telah memberikan nikmat kepadanya. Ia juga tidak menggunakan nikmat harta yang diperoleh dalam jalan ketaatan. Maka inilah bentuk kufur nikmat yang dilakukan Qorun. Maka Allah memberikan adzab yang pedih yaitu ditenggelamkan ke dalam bumi beserta seluruh hartanya. Allah ta’ala berfirman :

فَخَسَفْنَا بِهِ وَبِدَارِهِ الْأَرْضَ فَمَا كَانَ لَهُ مِنْ فِئَةٍ يَنْصُرُونَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُنْتَصِرِينَ

Maka Kami benamkanlah Qorun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golonganpun yang menolongnya terhadap adzab Allah. Dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya).” (QS. Al Qashash : 81).

Demikianlah balasan bagi orang-orang yang kufur terhadap nikmat Allah. Sudah seharusnya kita mengambil pelajaran dari kisah tersebut sehingga tidak ada pada diri kita sifat kufur nikmat. Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang pandai bersyukur dan dijauhkan dari sifat kufur nikmat.












Sunnah Yang Terlupakan

Posted by Unknown On Selasa, November 25, 2014
Imam Syafi’i -rahimahullah- mengatakan:

Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- mengucapkannya ( “Innal ‘Aisya ‘Aisyul Akhirah“) di momen yang paling membahagiakan dan di momen yang paling menyusahkan.

Minggu, Oktober 12, 2014

Takut Kepada Allah

Posted by Unknown On Minggu, Oktober 12, 2014
Rasulullah bersabda:
لَيْسَ شَيْءٌ أَحَبَّ إِلَى اللهِ مِنْ قَطْرَتَيْنِ وَأَثَرَيْنِ،
قَطْرَةٌ مِنْ دُمُوْعٍ فِيْ خَشْيَةِ اللهِ وَقَطْرَةُ دَمٍ تُهَرَاقُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ،
وَأَمَّا الْأَثَرَانِ فَأَثَرٌ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ وَأَثَرٌ فِيْ فَرِيْضَةٍ مِنْ فَرَائِضِ اللهِ
“Tidak ada sesuatu yang lebih dicintai Allah selain dua tetesan dan dua bekas. Yaitu, tetesan air mata karena takut kepada Allah dan tetesan darah yang mengalir (saat jihad) di jalan Allah. Adapun dua bekas, yaitu bekas dari berjihad di jalan Allah dan bekas dari menunaikan salah satu kewajiban yang telah Allah tetapkan.” (H.R. Tirmidzi no 1363).

Pada hakikatnya, manusia sangat butuh kepada penciptanya. Manusia yang jauh dari Allah, maka semakin juah ia dari jalan yang lurus dan semakin terperangkap dari dosa. Dengan demikian, hati mereka semakin keras laksana karang dan tidak dapat menangis lagi yang disebabkan mendengar ayat-ayat Allah dibacakan atau karena takut kepada Allah. Hanya orang yang diberikan rahmat oleh Allah yang mampu menangis karena mendengar ayat-ayat Allah dan takut kepadaNya.

Terkadang, kita sangat sulit untuk menangis. Kenapa ? Mungkin karena hati kita yang sudah lalai jauh kepada Allah atau mungkin karena banyaknya maksiat yang kita lakukan ? Jika demikian, segeralah kembali kepada Allah. Sifat kasih sayang Allah mendahului kemurkaanNya. IsnyaAllah jika kita mau bertobat dan bertekad untuk lepas dari dosa, maka sesungguhnya Allah maha penerima tobat

Wallahu a'alam

Sabtu, September 13, 2014

Download : Nasehat Bagi Penuntut Ilmu

Posted by Unknown On Sabtu, September 13, 2014
Bismillah,

buat teman-teman mahasiswa, dan pembaca blog, bisa mendownload nasehat bagi penuntut ilmu oleh ustadz Abu Ihsan Al-Atsray, pada link berikut


Download di sini

Sabtu, Juli 19, 2014

Keutamaan Ilmu

Posted by Unknown On Sabtu, Juli 19, 2014
Penguasaan ilmu Agama, tidak diragukan lagi sangat bermanfaat bagi seorang Muslim, Mengingat, seluruh aspek kehidupannya telah diatur oleh Islam. Orang yang berilmu akan berjalan dengan mantap. Sementara orang yang berpengetahuan agama pas-pasan, atau bahkan derajatnya nol, akan berhadapan dengan ketidakjelasan, keraguan dan perasaan was-was, bahkan mungkin saja terjerumus dalam lubang kesesatan. Bila merasa yakin pun, keyakinannya belum dapat dipertanggungjawabkan, karena tak berlandaskan ilmu.

Dalam al-Qur`ân, Allah Azza wa Jalla memuji orang-orang yang berilmu. Sanjungan-sanjungan tersebut hanya ditujukan bagi mereka yang mendalami ‘ilmuddîn (ilmu agama). Ilmu yang bersumber dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Itulah sumber kebaikan yang hakiki dan murni.  

Kebaikan sangat penting bagi seseorang di dunia ini. Dengan berilmu, seseorang akan mengetahui kebaikan-kebaikan yang banyak. Tak mengherankan, bila Allah Azza wa Jalla menyuruh Rasul-Nya yang mulia untuk memohon tambahan ilmu. Allah Azza wa Jalla berfirman: 

dan katakanlah :"Ya Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan". [Thâhâ/20:114]

Ayat di atas, dinyatakan oleh al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam kitabnya (al-Fat-h, 1/187), sangat jelas berindikasi tentang keutamaan ilmu yang sangat besar. Sebab, Allah Azza wa Jalla tidak pernah memerintahkan Nabi-Nya untuk meminta tambahan apapun selain tambahan ilmu

Syaikh as-Sa'di rahimahullah menjelaskan alasan mengapa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , hamba Allah yang paling berilmu tentang Allah Azza wa Jalla , diperintahkan untuk berdoa memohon tambahan ilmu. Kata beliau, “ Sesungguhnya ilmu adalah kebaikan. Dan limpahan kebaikan memang dibutuhkan. Ilmu itu sendiri berasal dari Allah Azza wa Jalla . Dan cara untuk menggapainya ialah dengan keseriusan, antusiasme besar kepada ilmu, memintanya dan memohon bantuan kepada Allah Azza wa Jalla serta menghinakan diri kepada-Nya pada setiap saat. Demikian penuturan beliau dalam tafsirnya (hal. 551)

Sebagai pelaksanaan dari perintah di atas, di antara doa yang beliau panjatkan berbunyi:  

Ya Allah, berilah manfaat atas apa yang Engkau ajarkan kepadaku, ajarilah aku hal-hal yang bermanfaat bagiku, dan tambahilah aku ilmu [HR. at-Tirmidzi dan Ibnu Mâjah, dishahihkan al-Albâni]

Perhatian besar terhadap masalah penting ini juga menjadi bagian kehidupan generasi Salaf. Mereka memohon tambahan ilmu dari Allah Azza wa Jalla al'Alîm al-Khabîr. 'Abd bin Humaid rahimahullah dan Sa'îd bin Manshûr rahimahullah meriwayatkan bahwa 'Abdullah bin Mas'ûd Radhiyallahu anhu pernah berdoa:  

Ya Allah, berilah aku tambahan iman, pemahaman, keyakinan dan ilmu 

Seorang Muslim sebagai umat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, senantiasa diperintahkan agar memohon tambahan ilmu juga karena ilmu ibarat lautan yang tak pernah bertepi. Semakin dalam seseorang mengarunginya, semakin sadar betapa dangkal apa yang telah ia mengerti. 


Kamis, Juni 12, 2014

Jawaban "saya tidak tahu"

Posted by Unknown On Kamis, Juni 12, 2014
Salah satu tanda akan keilmuan seseorang adalah menjawab pertanyaan yang belum/tidak ia ketahui jawabannya dengan ucapan "Saya tidak tahu (la adri)". Bila seseorang nekat menjawab sesuatu yang ia tidak mempunyai ilmu tentangnya, maka dikhawatirkan keburukan akan tersebar. Tidak hanya berbahaya bagi dirinya sendiri, namun bahaya juga untuk orang lain. Berfatwa tanpa ilmu, sangat menyesatkan bahkan merupakan salah satu bentuk kedustaan.

Banyak orang yang berfatwa tanpa ilmu. Dimana mereka tidak memiliki kapabilitas yang cukup untuk menjawab suatu persoalan. Terutama persoalan dalam masalah agama. Sungguh sangat disayangkan, orang-orang seperti ini malah dijadikan rujukan dalam ilmu dan agama.

Dalam hadits yang diriwayatkan imam Bukhari, Rasulullah pernah menjenguk seorang sahabat yang bernama Jabir bin Abdillah. Saat Jabir telah sdar dari sakitnya, ia bertanya kepada Rasulullah tentang bagaimana cara mengurusi harta warisan (saat itu ayat tentang warisan belum turun). Rasulullah tidak berfatwa sembarangan, beliau sama sekali tidak menjawab pertanyaan tersebut hingga turun ayat tentang harta warisan (ringkasan hadits riwayat imam bukhari no. 7309)

Syaikh Abdul Muhsin, dalam majelisnya, beliau sangat hati-hati dalam berfatwa. Seringkali beliau (hafidzahullah) mengucapkan perkataan "saya tidak tahu" pada perkara-perkara yang memang tidak ia ketahui. Dan hal ini menunjukkan betapa dalamnya ilmu beliau.

Maka selayaknya bagi kita, untuk tidak mudah "berfatwa" tanpa ilmu. Sesungghunya perktaan "saya tidak tahu", tidaklah menunjukkan kerendahan seseorang, melainkan hal itu menunjukkan bahwa orang tersebut sangat berhati-hati dan akan kedalaman ilmunya.

Senin, Februari 24, 2014

Imam yang rusak bacaannya

Posted by Unknown On Senin, Februari 24, 2014
Seorang imam, sangat urgen baginya untuk memperbaiki bacaannya (tajwid). Sebab hal tersebut merupakan suatu kesempurnaan dalam shalat. Apabila imam, berniat dengan tulus untuk memperbaiki bacannya, insyaAllah Allah akan mengganjarnya dengan kebaikan yang berlimpah.

وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ لَا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ

"Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia mengadakan baginya jalan keluar" [Q.S. Ath-Thalaq : 2]

Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam- juga menjanjikan keutamaan yang tinggi bagi orang yang bacaannya baik, sebagaimana dalam hadits :

"Orang yang mahir Al-Qur'an bersama para malaikat yang mulia lagi baik, sedangkkan orang yang membaca Al-Qur'an dengan terbata-bata dan mengalami kesulitan mendapatkan dua pahala"

Dan bagi para imam, agar bersungguh-sungguh dan serius dalam memperbaiki bacaannya serta memperbanyak hafalannya, serta bersabar dalam menjadi seorang imam

Senin, Februari 17, 2014

Jadilah Orang Yang Pemaaf

Posted by Unknown On Senin, Februari 17, 2014
Dakwah Rasulullah, dijalani dan didedikasikan untuk kebaikan dan kemashlahatan umat manusia. Beliau tidak pernah menjadi seorang yang pendendam, bahkan terhadap orang yang menentangnya. Sebagai seorang rosul, beliau diperintahkan oleh Allah untuk mengutamakan jalan damai serta memaafkan kesalahan orang yang jahil (bodoh). Tujuan dari hal ini, agar manusia tidak lari terhadap dakwah serta tertarik terhadap agama ini.

Allah berfirman :
7:199
"Jadilah engkau pemaaf dan serulah orang mengerjakan kebaikan serta berpalinglah dari orng-orang yang bodoh" (Q.S. Al-A'raf : 199)

Ada baiknya kita memerhatikan nasihat Ibnu Hibban, "(sangat penting), seseorang melatih diri untuk berlapang dada terhadap kesalahan orang lain, tidak membalasnya dengan keburukan. Tidak ada obat dalam meredam suatu kejahatan melainkan berbuat baik kepadanya. Dan tidak ada hal yang dapat meneybabkan kerusakan, kecuali bila kejahatan dibalas dengan kejahatan" 

Suatu hari, istri Rasulullah -shallallahu 'alaihi wa sallam-, 'Aisyah -radiyallahu 'anha-, bertanya kepada Rasulullah. "Adakah hal yang lebih berat engkau lewati daripada peperangan uhud ?"

Beliau -shallallahu 'alaihi wa sallam- menjawab :
"Aku telah mengalami gangguan dari kaummu. Peristiwa yang paling berat aku lalui adalahpada hari 'Aqabah. Ketika aku mendatangi Ibnu 'Abdil lail bin abdi kilal, namun dia menolakku. Kemudian aku pergi dengan sedih, sampai di daerah Qarnuts-Tsa'alib. Kemudian aku menengok ke atas, tiba-tiba awan menaungiku. Aku mengamati, lalu muncullah malaikat Jibril sambil berseru : "Sesungguhnya Allah -Azza wa Jalla- telah mendengar perkataan dan penolakan kaummu, Dia telah mengutus malaikat penjaga gunung untuk siap engkau perintah". Lalu malaikat penjaga gunung memanggil dan mengucapkan salam kepadaku, sambil berkata : "Wahai, Muhammad, sesungguhnya Allah telah mendengar penolakan kaummu. Dan aku penjaga gunung mendapat perintah untuk menerima perintahmu sesuai kehendakmu. Jika kamu mau, maka aku akan bentrukan dua gunung ini di atas mereka ". "

Bukannya membalas kaumnya, Rasulullah -shallallahu 'alaihi wa sallam- justru bersabda sebaliknya :
"Sesungguhnya aku berharap Allah akan mengeluarkan tulang sulbi mereka keterunan yang hanya beribadah kepada Allah saja, tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun" (H.R. Muslim no : 4629)

Maka, jadilah orang yang pemaaf. Bukankah sebaik-baik teladan adalah Rasulullah -shallallahu 'alaihi wa sallam- ? Maka cukuplah kisah diatas sebagai penguat bagi kita agar kita menjadi orang yang pemaaf.

Sabtu, Januari 04, 2014

Bahaya Riya'

Posted by Unknown On Sabtu, Januari 04, 2014
Nilai amal di sisi Allah diukur dengan ikhlas karena Allah dan sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah , bukan dengan banyak dan besarnya. Allah berfirman :

"Katakanlah : Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku bahwa sesungguhnya Rabb kamu itu adalah Allah yang Esa. Barangsiapa mengharap perjumpaaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan jangan mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabb-nya". [al Kahfi : 110].


Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Inilah dua landasan amal yang diterima, ikhlas karena Allah dan sesuai dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam”

Hadits di atas menjelaskan tentang tiga golongan manusia yang dimasukkan ke dalam neraka dan tidak mendapat penolong selain Allah l . Mereka membawa amal yang besar, tetapi mereka melakukannya karena riya', ingin mendapatkan pujian dan sanjungan. Pelaku riya' , pada hari yang dibuka dan disibak semua hati, wajahnya diseret secara tertelungkup sampai masuk ke dalam neraka. Nas-alullaha as-Salaamah wal ‘Afiyah. Tiga golongan tersebut ialah:

Golongan Pertama : Yaitu kaum yang dianugerahi Allah kesehatan dan kekuatan. Kewajiban mereka seharusnya adalah mencurahkan semuanya untuk Allah dan di jalan Allah dalam rangka mensyukuri nikmat-nikmatNya. Tetapi sayang, setan telah menjadikan mereka mencurahkannya di luar jalan ini. Mereka memang pergi ke medan jihad dan berperang, tetapi tujuan mereka supaya disebut pemberani. Kepada merekalah Allah mengawali pengadilanNya pada hari Kiamat. Lalu Allah memperlihatkan nikmat-nikmatNya yang telah dianugerahkan kepada mereka, seraya bertanya : “Apa yang kamu kerjakan dengan nikat-nikmat itu?” Pada saat itulah Allah membuka rahasia hati mereka seraya berfirman : “Kamu pendusta! Sesungguhnya kamu berperang (berjihad) hanya supaya dikatakan pemberani (pahlawan).” Mereka tidak mampu membantah, karena memang demikianlah kenyataannya. Malaikat pun diperintahkan menarik wajahnya dan melemparkan ke dalam api neraka.

Golongan Ketiga : Yaitu kaum yang diberi kelapangan rezeki dan berbagai macam harta benda. Mereka adalah golongan yang mampu, kaya dan berduit. Kewajiban mereka semestinya bersyukur kepada Allah dengan ikhlas karena Allah semata. Tetapi sayang, mereka shadaqah, infaq, memberikan uang dan mendermakan harta supaya menjadi terkenal dan dikatakan dermawan, karim (yang mulia hatinya), supaya dikatakan orang yang khair (baik). Padahal apa yang mereka katakan di hadapan Allah, bahwa mereka berinfaq, bershadaqah karena Allah adalah dusta belaka. Sungguh telah dikatakan yang demikian itu, dan mereka tidak bisa membantah. Allah mengetahui hati dan tujuan mereka. Kemudian mereka diperintahkan untuk diseret atas mukanya dan dicampakkan ke dalam neraka, dan mereka tidak mendapatkan seorang penolong pun selain Allah Subhanahu wa Ta'ala

Keumuman hadits-hadits tentang keutamaan jihad, sesungguhnya diperuntukkan bagi orang yang melaksanakannya karena Allah dengan ikhlas. Demikian pula pujian terhadap ulama dan orang yang berinfaq di segala sektor kebaikan, semua itu terjadi dengan syarat apabila mereka melakukan yang demikian itu semata-mata karena Allah Ta'ala


Rabu, Januari 01, 2014

Gunakan Tangan Kanan

Posted by Unknown On Rabu, Januari 01, 2014
Pembahasan yang sederhana, mungkin itu yang terbetik pada benak sebagian orang saat menyaksikan judul di atas. Sungguhpun sederhana, namun, jangan salah, ternyata sebagian orang masih saja keliru menerapkan penggunaan tangannya. Justru, pembahasan materi semacam ini akan kian memantapkan aspek keindahan dan kesempurnaan Islam yang telah dinyatakan oleh Allah Azza wa Jalla. Allah Azza wa Jalla berfirman: 

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

"Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu". [al-Mâidah/5:3]


 Al-Qur`an Memuji Golongan Kanan 
Al-Qur`an sebagai sumber hukum Islam menyebutkan penggolongan manusia di akhirat kelak. Menariknya, ialah penggolongan umat manusia menjadi dua golongan. Pertama, golongan yang menerima buku catatan amalnya dengan tangan kanan. Golongan pertama ini sangat identik dengan orang-orang baik, taat kepada Allah Azza wa Jalla, dan memperoleh keselamatan, kebahagiaan, kenikmatan dan keberuntungan di akhirat kelak. Saking gembiranya atas hasil catatannya yang baik, mereka berkemauan memperlihatkannya kepada orang lain. Allah Azza wa Jalla berfirman:

فَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ فَيَقُولُ هَاؤُمُ اقْرَءُوا كِتَابِيَهْ

"Adapun orang-orang yang diberikan kepadanya kitabnya dari sebelah kanannya, maka dia berkata: "Ambillah, bacalah kitabku (ini)". [al-Hâqqah/69:19]


Syaikh al-'Utsaimin rahimahullah mengkiaskan kejadian di atas dengan peristiwa pada hari penerimaan rapot anak-anak di sekolah. Dapat disaksikan bila siswa menerima rapot dengan hasil baik (lulus ujian), maka ia akan memamerkannya kepada teman-teman dan kaum kerabatnya. Berbeda dengan siswa yang tidak lulus, maka ia akan berandai-andai agar tidak pernah menerima rapot, apalagi sampai melihatnya

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata: “Disunnahkan menggunakan tangan kanan dalam perkara-perkara yang mengandung segi kemuliaan. Dan sebaliknya, menggunakan tangan kiri dalam urusan yang mengandung kejelekan”

Perincian Penggunaan Tangan Kanan Atau Mendahulukan Anggota Tubuh Sebelah Kanan Dalam Riwayat Hadits: 

Bersuci 
Dasarnya, hadits 'Aisyah Radhiyallahu 'anha yang diriwayatkan Imam al-Bukhâri dan Imam Muslim, ia berkata: 

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِي تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُورِهِ وَفِي شَأْنِهِ كُلِّهِ

"Nabi lebih menyukai menggunakan sebelah kanan dalam urusan-urusan beliau; dalam mengenakan sandal, menyisir dan besuci"


Adapun dua telinga dihitung satu anggota tubuh, karena masuk dalam bagian kepala yang dibasuh sekaligus, tanpa mempertimbangkan bagian kanan atau kirinya

Memandikan Jenazah
Disebutkan dalam riwayat, kaum wanita menghadiri pemandian jenazah putri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam Zainab. Rasulullah berkata kepada mereka:

ابْدَأْنَ بِمَيَامِنِهَا ….

“Mulailah dengan anggota-anggota badan sebelah kanan” [Muttafaqun ‘alaih]


Maksudnya, mendahulukan tangan kanan daripada tangan kiri, kaki kanan daripada kaki kiri, sisi kanan ketimbang sisi kiri

 Makan Dan Minum
Pada masalah ini, ketegasan penggunaan tangan kanan dari Rasulullah telah dilupakan oleh sebagian kaum Muslimin. Sementara orang lebih mengedepankan tangan kiri, entah untuk mengambil makanan, gorengan misalnya, dan lantas menyantapnya, maupun saat menegukkan air dari sebuah gelas ke mulut. 


Karenanya, Syaikh al-‘Utsaimîn rahimahullah berpesan, orang tua wajib mengajari anak-anaknya agar makan dan minum dengan tangan kanan 

Dari Anas Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (dalam musim haji) pergi ke Mina. Kemudian beliau melontar jumrah. Setelah itu, kembali ke tempat beliau menginap di Mina dan menyembelih hewan onta. Kemudian, berkata kepada tukang cukur, "Ambil sini (dulu). Beliau menunjuk bagian kanan kepala dan dilanjutkan dengan bagian kiri kepala….[Muttafaqun 'alaih]

Menyisir Rambut 
Rambut Rasulullah kadang-kadang sampai cuping telinga. Terkadang juga rambut beliau sampai mengenai pundak. Dengan rambut seperti ini, beliau selalu memperhatikan kebersihan dan keindahannya. Beliau menyisir dan meminyakinya sehingga tampak bersih dan indah. Tidak kotor terkena debu atau malah menjadi sarang kutu hingga mengakibatkan rambut menjadi menjijikkan. 


Memakai Sandal (Sepatu)
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu.

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا انْتَعَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَبْدَأْ بِالْيَمِينِ وَإِذَا نَزَعَ فَلْيَبْدَأْ بِالشِّمَالِ …. 

"Bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: Jika salah seorang dari kalian akan mengenakan sandal, hendaknya memulai dengan kaki kanannya. Dan apabila akan melepasnya, hendaknya memulai dengan kaki kirinya…" [Muttafaqun alaihi]


Alasan penggunaan tangan kiri dalam masalah-masalah kotor ini dalam rangka memuliakan tangan kanan. Sebab tangan kanan lebih afdhal ketimbang tangan kiri.

Dalam syariat telah diatur, bahwa istinja’ (menggunakan air dalam bersuci dari buang hajat), istijmâr (bersuci dari buang hajat dengan bebatuan) dilakukan dengan tangan kiri. Sahabat Salmân al-Fârisi Radhiyallahu 'anhu menceritakan:

نَهَانَا أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ بِغَائِطٍ أَوْ بَوْلٍ أَوْ نَسْتَنْجِيَ بِأَيْمَانِنَا …

"Rasulullah melarang kami menghadap kiblat saat buang air besar, kencing dan melarang kami melakukan istinja` dengan tangan kanan… " [HR. an-Nasâi]


Penggunaan tangan kiri, menurut Imam an-Nawawi rahimahullah juga dilakukan saat seseorang akan membuang ingusnya. Arah kiri pun seyogyanya dipilih oleh seseorang untuk membuang ludahnya. Dan ketika seeorang keluar dari kamar mandi (toilet), atau masjid, kaki kiri lah yang didahulukan. Sementara persoalan melepas sandal, sepatu, celana dan pakaian, juga dengan mendahulukan tangan atau kaki kiri


Jumat, Desember 20, 2013

Baca Bismillah Sebelum Makan

Posted by Unknown On Jumat, Desember 20, 2013
Dari 'Umar bin [Abi] Salamah Radhiyallahu anhu, bahwasanya ia mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan di sisinya ada makanan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

سَمِّ اللهَ وَكُلْ بِيِمِيْنِكِ وَكُلْ مِمَّ يَليْكَ

Sebutlah nama Allah Ta'ala, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah apa yang ada di dekatmu. [Muttafaqun 'alaih].


Pentingnya tasmiyah (membaca bismillah) ini kian jelas dengan petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi orang yang lupa membacanya. Disebutkan dalam satu hadits dari 'Aisyah, ia berkata: Rasulullah bersabda, yang artinya: "Jika salah seorang dari kalian akan makan, hendaklah menyebut nama Allah Ta'ala. Apabila lupa menyebut nama Allah Ta'ala, hendaklah mengucapkan: 'Bismillah awwalahu wa akhirahu'." [HR Abu Dawud]

Dari 'Aisyah, ia berkata: "Nabi makan bersama enam sahabatnya. Kemudian ada seorang Badui datang dan ikut makan (dengan) dua suapan (tanpa membaca bismillah). (Maka) Rasulullah bersabda: 'Seandainya ia mengucapan bismillah, maka akan menjadi cukup bagi kalian'."

Usai makan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan supaya seorang hamba bersyukur kepada Allah ar-Razzâq. Di antara doa yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan: 

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَطْعَمَنِي هَذَا الطَّعَامَ وَرَزَقَنِيهِ مِنْ غَيْرِ حَوْلٍ مِنِّي وَلَا قُوَّةٍ 

Segala puji bagi Allah yang telah memberi makan ini kepadaku dan yang telah memberi rizki kepadaku tanpa daya dan kekuatan dariku.


Demikian secara ringkas etika makan yang diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Tidak hanya bermanfaat dalam mendatangkan keberkahan, tetapi, sekaligus mencerminkan rasa syukur hamba kepada Allah, Dzat Pemberi kenikmatan. 


Jumat, Desember 06, 2013

Taat Kepada Orang Tua

Posted by Unknown On Jumat, Desember 06, 2013
Berbakti kepada kedua orang tua, selalu mendengar kan dan mentaati mereka dalam kebajikan adalah kewajiban terpenting. Anda wajib memperhatikan hak ibu anda dan berusaha untuk membuatnya senang tanpa mendurhakainya dalam kebajikan. Kalau perkerjaan yang sedang anda hadapi hukumnya wajib sehingga berlawanan dengan permintaan ibu anda, segera beritahukan kepadanya dan minta ma'af, lalu tunaikan apa yang menjadi kewajiban anda. Kalau masih memungkinkan untuk mendahulukan apa yang menjadi permintaan ibu anda tanpa membahayakan diri anda dengan tertundanya kewajiban anda, dahulukan keperluan orang tua anda tersebut, karena berbakti kepada ibu itu jauh lebih penting.

Namun kalau itu tidak mungkin, dahulukan yang lebih penting yang apabila tertunda akan menyebabkan hilang kesempatan mengamalkannya, berdasarkan firman Allah.

"Artinya : Dan bertakwalah kepda Allah semampumu". [At-Taghaabun : 16]



Sabtu, November 30, 2013

Pergaulan Dengan Pelaku Dosa Besar

Posted by Unknown On Sabtu, November 30, 2013
Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa pernjelasan Anda tentang bermua’amalah dengan para pelaku dosa besar, seperti pezina, homosek dan dosa besar lainnya yang telah datang dalil yang menyebutkan ancaman keras bagi pelakunya ? Bolehkah berbicara dengan mereka ? Bolehkah mengucapkan salam kepada mereka ? Bolehkah pula berteman dengan mereka dalam rangka mengingatkan mereka akan ancaman Allah dari siksaNya yang pedih ?


Jawaban
Orang yang tertuduh melakukan perbuatan maksiat wajib untuk dinasehati dan diberi peringatan akan maksiat itu dan akibat jeleknya, dan bahwa maksiat itu termasuk diantara penyebab sakit, mengeras dan matinya hati. Adapun orang yang terang-terangan dan mengakui maksiat itu, maka wajib ditegakkan had pada dirinya dan dilaporkan kepada penguasa.



وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ

“Artinya : Dan orang-orang yang beriman lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari perbautan yang mungkar” [At-Taubah : 71]



وَالْعَصْرِ﴿١﴾إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ﴿٢﴾إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

“Artinya : Demi masa,sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, dan mengerjakan amal salih, dan nasihat menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran” [Al-Ashr : 1-3]


Begitupula berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

عن أبي سعيد الخدري – رضي الله عنه – قال : قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول - من رأى منكم منكرا فليغيره بيده ، فإن لم يستطع فبلسانه ، فإن لم يستطع فبقلبه و ذلك أضعف الإيما

“Artinya : Barangsiapa di antara kalian yang melihat suatu kemungkaran, maka hendaknya dia merubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, hendaknya dengan lisannya. Dan jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya, dan itu selemah-lemah iman” [Riwayat Muslim] 



Jumat, Oktober 25, 2013

Apakah ketentraman hati merupakan indikasi kebenaran?

Posted by Unknown On Jumat, Oktober 25, 2013
Apakah kegiatan atau perbuatan yang mendatangkan ketenteraman di hati merupakan indikasi benarnya apa yang dilakukan? Terdapat satu ayat dalam Al Qur`an yang menegaskan, dzikrullah (berdzikir kepada Allah, mengingat Allah) dapat menenteramkan hati. Allah Azza wa Jalla berfirman:

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ ١٣:٢٨

"(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati-hati mereka menjadi tenteram dengan berdzikir (mengingat) kepada Allah. Ingatlah, hanya dengan berdzikir (mengingat) kepada Allah-lah, hati akan menjadi tenteram". [ar Ra'd / 13 : 28].


Berkaitan dengan ayat ini, Imam Ibnu Katsir menjelaskan : "Maksudnya, hati akan menjadi baik dan menjadi senang ketika menuju ke sisi Allah. Hati menjadi tenang ketika mengingat Allah, dan hati merasa puas ketika merasa bahwa Allah adalah Pelindung dan Penolongnya". 

Sementara, Syaikh Abdur Rahman bin Nashir as Sa'di rahimahullah, seorang ulama besar dunia yang hidup antara tahun 1307 H – 1376 H menjelaskan lebih rinci ayat di atas. Beliau mengatakan: 

"Nyatalah, hanya dengan berdzikir mengingat Allah (hati menjadi tenteram), dan sewajarnyalah hati tidak akan tenteram terhadap sesuatupun kecuali dengan mengingat Allah. Sebab, sesungguhnya tidak ada sesuatupun yang lebih lezat dan lebih manis bagi hati dibandingkan rasa cinta, kedekatan serta pengetahuan yang benar kepada Penciptanya. Sesuai dengan kadar pengetahuan serta kecintaan seseorang pada Penciptanya, maka sebesar itu pula kadar dzikir yang akan dilakukannya. Ini berdasarkan pendapat yang mengatakan, bahwa dzikir kepada Allah ialah dzikirnya seorang hamba ketika menyebut-nyebut Rabb-nya dengan bertasbih, ber-tahlil (membaca Laa ilaaha Illallaah), bertakbir dan dzikir-dzikir lainnya. 


Dari dua keterangan ulama besar di atas, ketenteraman hati yang hakiki hanya diperoleh ketika seseorang berdzikir kepada Allah secara benar dan memahami makna-makna serta hukum-hukum yang ada dalam al Qur`an secara benar pula. Itulah ketenteraman hati yang sesungguhnya. 

Persoalannya, apakah setiap kegiatan yang dapat mendatangkan ketenteraman hati, berarti pasti bahwa kegiatan itu benar? Mungkinkah seseorang mendapat ketentaraman hati sedangkan cara yang dilakukannya salah? Persoalan ini muncul sebagai syubhat yang sering terlontar untuk membenarkan kegiatan tertentu, dengan alasan dapat menenteramkan hati.

"Ibadah mempunyai dua syarat. Pertama : Ikhlas hanya untuk Allah Azza wa Jalla. Yakni tidak memaksudkan peribadatannya kecuali untuk mencari wajah Allah dan mencapai negeri kemuliaanNya (di akhirat). Inilah realisasi dari syahadat Laa ilaaha Illallaah. Kedua, mengikuti petunjuk Rasulullah  . Yaitu tidak melakukan kegiatan peribadatan apapun, kecuali berdasarkan apa yang disyari'atkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Pembuktian tentang dua persyaratan ini terdapat dalam Kitabullah dan Sunnah NabiNya Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Sebagian dalil al Qur`an yang menunjukkan disyaratkannya ikhlas dalam peribadatan ialah firman Allah Subanahu wa Ta'ala:

فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّينَ ٣٩:٢
أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ ٣٩:٣ 

"Maka sembahlah Allah saja dengan ikhlas, menyerahkan ketaatan kepadaNya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah sajalah agama yang bersih (dari syirik)". [az Zumar / 39 : 2 – 3].


.

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ ٩٨:٥

"Dan tidaklah mereka disuruh kecuali supaya menyembah Allah saja dengan mengikhlaskan (memurnikan) ketaatan kepadaNya (dalam menjalankan agama) dengan lurus". [al Bayyinah/98 : 5]




وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُم مَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ ٦:٨٨

"Seandainya mereka mempersekutukan Allah (tidak ikhlas), niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan". [Al-An'am/6 : 88] 


Sedangkan sebagian dalil dari al Qur`an yang menunjukkan disyaratkannya mutaba'ah (mengikuti petunjuk atau jalan Rasul) ialah, firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

وَأَنَّ هَٰذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُم بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ ٦:١٥٣

"Sesungguhnya (yang Aku perintahkan) ini adalah jalanKu yang dalam keadaan lurus, maka ikutilah dia. Dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan lain, karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian ituadalah wasiat Allah yang Ia wasiatkannya kepadamu agar kamu menjadi orang-orang yang bertakwa". [al An'am/6 : 153]




وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ ٣:٨٥

"Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dari padanya. Dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi". [ali Imran/3 : 85]. 


Dari Jabir bin Abdillah, ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkhutbah pada hari Jum'at, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, di antaranya :

أما بعد : فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ ، وَشَرَّ الأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ. أخرجه مسلم فى صحيحه

"Amma ba'du : Sesungguhnya sebaik-baik pembicaran adalah Kitab Allah,dan sebaik baik jalan (metoda) adalah jalan (metoda) Muhammad. Sedangkan seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan secara baru dalam urusan agama, dan setiap bid'ah adalah sesat". [HR Muslim].[6] 


Bisakah perbuatan yang salah dan bid'ah mendatangkan ketenteraman hati? 

Jawabnya adalah, bisa saja, sebab ketenteraman hati berkait erat dengan rasa. Bila seseorang merasa mantap dengan suatu kegiatan, bisa saja kegiatan itu mendatangkan ketenteraman di hatinya. Padahal kegiatan tersebut adalah kegiatan yang salah, dan bahkan mungkin sesat. Tetapi karena perasaannya menganggap kegiatan itu baik, sehingga melahirkan kesenangan tersendiri pada jiwanya. Namun, itu hanyalah kesenangan dan ketenteraman semu. Tidak akan berlangsung lama hingga di akhirat. 


Jadi adanya dalil yang menyatakan bahwa dzikrullah dapat menenteramkan hati, tidak lantas bisa diambil pengertian terbalik, yaitu tiap-tiap kegiatan atau tiap-tiap wirid atau tiap-tiap dzikir yang dapat menjadikan tenteram hati, berarti kegiatan-kegiatan itu pasti benar. Itu adalah anggapan yang keliru. 
Demikianlah, hendaknya para hamba Allah berhati-hati dan senantiasa bertakwa kepada Allah. Wallahu Waliyyu at Taufiiq. Wallahu a'lam.




Kamis, September 12, 2013

Belohkan menjadikan ruqyah sebagai profesi?

Posted by Unknown On Kamis, September 12, 2013
Dengan banyaknya imbalan yang diperoleh dari meruqyah ini, mereka rela melepaskan kesibukan-kesibukan dan mengambil jalan pintas dengan cara mengkhususkan diri sebagai tukang ruqyah. Mereka pun banyak memperluas waktu untuk itu dan selalu siap apabila ada orang yang datang untuk berobat, sehingga membuat mereka sibuk mengatur jam-jam berobat layaknya dokter-dokter dan rumah sakit spesialis, serta menjadikan meruqyah ini sebagai pekerjaan tetap (profesi).

Mereka mengkhususkan diri untuk meruqyah dan menjadikannya sebagai pekerjaan tetap (mata pencaharian) sehingga menjadikan dirinya terkenal. Cara seperti ini dapat mendatangkan kemudharatan, baik bagi peruqyah itu sendiri maupun bagi mereka yang diruqyah. Di antara kemudharatan itu antara lain:

Dalam hal meruqyah, yang memberi manfaat sebenarnya adalah apa yang dibaca dari Al Qur`an, sedangkan peruqyah itu sendiri hanya membacakan saja. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ

"Dan Kami turunkan dari Al Qur`an suatu penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman…" [Al Isra` : 82].


Jadi setiap apa yang melemahkan kepercayaan seseorang terhadap kalamullah, maka seharusnya dicegah dan tidak dibiarkan.

Tidak diragukan lagi, bahwa setiap zaman penyakit-penyakit itu bertambah banyak. Namun kita tidak melihat salah seorang pun dari pemimpin kaum Muslimin yang menisbatkan dirinya sebagai tukang ruqyah seperti penisbatan kepada mufti (pemberi fatwa) dan qadhi (hakim). Pada zaman dahulu, orang yang menderita suatu penyakit, dia sendirilah yang meruqyah dengan menggunakan Kitab Allah (Al Qur`an) dan do’a-do’a yang datang dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan bila ada seseorang yang sakit, kemudian ia diruqyah oleh orang yang faham tentang agama, maka hal itu boleh saja. Sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Jabir bin Abdillah, ia berkata: Ada seorang di antara kami yang digigit kalajengking pada waktu itu kami sedang duduk bersama Rasulullah, lalu ada seorang berkata,”Ya, Rasulullah. Bolehkah saya meruqyahnya?” Lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَنْفَعَ أَخَاهُ فَلْيَفْعَلْ

"Barangsiapa di antara kalian yang mampu memberikan manfaat kepada saudaranya, hendaklah ia lakukan". 


Sebenarnya yang membuat para tukang ruqyah pada zaman kita ini lebih terkenal ialah, karena mereka menyediakan tempat-tempat khusus untuk menemui mereka kapan mereka suka, sebagaimana yang dilakukan para dokter, pedagang atau pemilik perusahaan lainnya.



Minggu, Agustus 11, 2013

Memperbagus Penampilan Pada Hari Raya

Posted by Unknown On Minggu, Agustus 11, 2013
Imam Al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadits sebagaimana yang ia masukkan dalam shahih al-bukhari :

Dari Ibnu Umar Radhliallahu 'anhuma ia berkata : Umar mengambil sebuah jubah dari sutera tebal yang dijual di pasar, lalu ia datang kepada Rasulullah dan berkata :

Ya Rasulullah, belilah jubah ini agar engkau dapat berdandan dengannya pada hari raya dan saat menerima utusan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada Umar :'Ini adalah pakaiannya orang yang tidak mendapat bahagian'. Maka Umar tinggal sepanjang waktu yang Allah inginkan. Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengirimkan kepadanya jubah sutera. Umar menerimanya lalu mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ia berkata : 'Ya Rasulullah, engkau pernah mengatakan : 'Ini adalah pakaiannya orang yang tidak mendapat bahagian', dan engkau telah mengirimkan padaku jubah ini'. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada Umar :'Juallah jubah ini atau engkau penuhi kebutuhanmu dengannya".

Para ulama seperti Al-Allamah As-Sindi, Ibnu Hajar, Ibnu Qudamah dan Ibnul Zayyim berpendapat bahwasanya mempebagus penampilan pada hari raya merupakan sunnah.

Maka sudah sepantasnya bagi kita untuk mencoba untuk meneladani Rasulullah dalam hal ini dengan catatan tidak berlebih-lebihan

Sabtu, Mei 18, 2013

Menyambung Silaturahmi

Posted by Unknown On Sabtu, Mei 18, 2013
Marilah kita bertakwa kepada Allah Ta'ala. Takwa yang juga dapat mengantarkan kita pada kebaikan hubungan dengan sesama manusia. Lebih khusus lagi, yaitu sambunglah tali silaturahmi dengan keluarga yang masih ada hubungan nasab (anshab). Yang dimaksud, yaitu keluarga itu sendiri, seperti ibu, bapak, anak lelaki, anak perempuan ataupun orang-orang yang mempunyai hubungan darah dari orang-orang sebelum bapaknya atau ibunya. Inilah yang disebut arham atau ansab. Adapun kerabat dari suami atau istri, mereka adalah para ipar, tidak memiliki hubungan rahim ataupun nasab.

Banyak cara untuk menyambung tali silaturahmi. Misalnya dengan cara saling berziarah (berkunjung), saling memberi hadiah, atau dengan pemberian yang lain. Sambunglah silaturahmi itu dengan berlemah lembut, berkasih sayang, wajah berseri, memuliakan, dan dengan segala hal yang sudah dikenal manusia dalam membangun silaturahmi. Dengan silaturahmi, pahala yang besar akan diproleh dari Allah Azza wa Jalla. Silaturahim menyebabkan seseorang bisa masuk ke dalam surga. Silaturahim juga menyebabkan seorang hamba tidak akan putus hubungan dengan Allah di dunia dan akhirat. 

Disebutkan dalam Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh Muslim, dari Abu Ayyûb al-Anshârî:

"Bahwasanya ada seseorang berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Wahai Rasulullah, beritahukan kepadaku tentang sesuatu yang bisa memasukkan aku ke dalam surga dan menjauhkanku dari neraka," maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sungguh dia telah diberi taufik," atau "Sungguh telah diberi hidayah, apa tadi yang engkau katakan?" Lalu orang itupun mengulangi perkataannya. Setelah itu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu pun, menegakkan shalat, membayar zakat, dan engkau menyambung silaturahmi". Setelah orang itu pergi, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Jika dia melaksanakan apa yang aku perintahkan tadi, pastilah dia masuk surga". 

Silaturahmi juga merupakan faktor yang dapat menjadi penyebab umur panjang dan banyak rizki. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

"Barang siapa yang ingin dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung tali silaturahmi". [Muttafaqun 'alaihi]. 

Dari Jubair bin Mut’im bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:

"Tidaklah masuk surga orang yang suka memutus, ( memutus tali silaturahmi)". [Mutafaqun 'alaihi].

Memutus tali silaturahmi yang paling besar, yaitu memutus hubungan dengan orang tua, kemudian dengan kerabat terdekat, dan kerabat terdekat selanjutnya. Oleh karena itu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda
 
”Maukah kalian aku beritahu tentang dosa terbesar di antara dosa-dosa besar?” Beliau mengulangi pertanyaannya sebanyak tiga kali. Maka para sahabat menjawab: ”Mau, ya Rasulullah,” Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ”Berbuat syirik kepada Allah dan durhaka kepada kedua orang tua”.


Demikianlah, betapa besar dosa seseorang yang durhaka kepada orang tua. Dosa itu disebutkan setelah dosa syirik kepada Allah Ta'ala. Termasuk perbuatan durhaka kepada kedua orang tua, yaitu tidak mau berbuat baik kepada keduanya. Lebih parah lagi jika disertai dengan menyakiti dan memusuhi keduanya, baik secara langsung maupun tidak langsung.


Dalam shahîhain, dari 'Abdullah bin 'Amr, sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:

”Termasuk perbuatan dosa besar, yaitu seseorang yang menghina orang tuanya,” maka para sahabat bertanya: ”Wahai Rasulullah, adakah orang yang menghina kedua orang tuanya sendiri?” Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ”Ya, seseorang menghina bapak orang lain, lalu orang lain ini membalas menghina bapaknya. Dan seseorang menghina ibu orang lain, lalu orang lain ini membalas dengan menghina ibunya”. 


Wahai orang-orang yang mengaku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Bertakwalah kepada Allah Azza wa Jalla. Dan marilah kita melihat diri kita masing-masing, sanak keluarga kita! Sudahkah kita menunaikan kewajiban atas mereka dengan menyambung tali silaturahmi? Sudahkah kita berlemah lembut terhadap mereka? Sudahkah kita tersenyum tatkala bertemu dengan mereka? Sudahkah kita mengunjungi mereka? Sudahkah kita mencintai, memuliakan, menghormati, saling menunjungi saat sehat, saling menjenguk ketika sakit? Sudahkah kita membantu memenuhi atau sekedar meringankan yang mereka butuhkan?

Ada sebagian orang tidak suka melihat kedua orang tuanya yang dulu pernah merawatnya kecuali dengan pandangan yang menghinakan. Dia memuliakan istrinya, tetapi melecehkan ibunya. Dia berusaha mendekati teman-temannya, akan tetapi menjahui bapaknya. Apabila duduk dengan kedua orang tuanya, maka seolah-olah ia sedang duduk di atas bara api. Dia berat apabila harus bersama kedua orang tuanya. Meski hanya sesaat bersama orang tua, tetapi ia merasa begitu lama. Dia bertutur kata dengan keduanya, kecuali dengan rasa berat dan malas. Sungguh jika perbuatannya demikian, berarti ia telah mengharamkan bagi dirinya kenikmatan berbakti kepada kedua orang tua dan balasannya yang terpuji.
 
Ada pula manusia yang tidak mau memandang dan menganggap sanak kerabatanya sebagai keluarga. Dia tidak mau bergaul dengan karib kerabat dengan sikap yang sepantasnya diberikan sebagai keluarga. Dia tidak mau bertegus sapa dan melakukan perbuatan yang bisa menjalin hubungan silaturahmi. Begitu pula, ia tidak mau menggunakan hartanya untuk hal itu. Sehingga ia dalam keadaan serba kecukupan, sedangkan sanak keluarganya dalam keadaan kekurangan. Dia tidak mau menyambung hubungan dengan mereka. Padahal, terkadang sanak keluarga itu termasuk orang-orang yang wajib ia nafkahi karena ketidakmampuannya dalam berusaha, sedangkan ia mampu untuk menafkahinya. Akan tetapi, tetap saja ia tidak mau menafkahinya.

Sumber : http://almanhaj.or.id/content/2658/slash/0/betapa-penting-menyambung-silaturahmi/

Minggu, April 21, 2013

Keutamaan Menjaga Pandangan

Posted by Unknown On Minggu, April 21, 2013
Salah satu akhlak mulia yang sudah banyak ditinggalkan kaum muslimin adalah menjaga pandangan dalam perkara yang diaharmkan Allah-subhanahu wa ta'ala-. Rasulullah-shallallahu 'alaihi wa sallm- dalam hadits yang shahih menjamin seseorang akan masuk surga dikarenakan menjaga pandangan.

“Berilah jaminan padaku enam perkara, maka aku jamin bagi kalian surga. Jika salah seorang kalian berkata maka janganlah berdusta, dan jika diberi amanah janganlah berkhianat, dan jika dia berjanji janganlah menyelisihinya, dan tundukkanlah pandangan kalian, cegahlah tangan-tangan kalian (dari menyakiti orang lain), dan jagalah kemaluan kalian.”

Akhlak seperti inipun diketahui bahkan dikalangan orang kafir sekalipun. Di zaman jahiliyah, memandang wajah istri orang lain dianggap suatu perbuatan buruk lagi tercela.

Contoh diatas merupakan praktek nyata akan menjaga pandangan. Seharusnya kaum muslimin, lebih layak dalam hal tersebut, akan tetapi, perkara ini telah banyak ditinggalkan oleh kaum muslimin. Allahul musta'an

Selasa, Maret 12, 2013

Bolehkah Menonton TV ?

Posted by Unknown On Selasa, Maret 12, 2013
Syaikh Utsaimin pernah ditanya, Bagaimana hukum orang islam yang memiliki TV di rumahnya, padahal di dalamnya dipamerka aurat laki-laki dan perempuan.

Ringkasnya syaikh menjawab, baghwa jika TV hanya digunakan untuk menonton berita, acara keagamaan dan keindahan alam, maka hukumnya tidak mengapa. Sedangkan jika TV tersebut digunakan untuk menonton sinteron atau peragaan aksi-aksi kejahatan, sehingga mendorong orang lain untuk menirunya, maka hal ini adalah haram. Dan jika hanya digunakan untuk menonton acara untuk membuang waktu, maka selayaknya bagi seorang muslim untuk meninggalkannya.
(Sumber : Fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin 2/293)


Blogger news


Blogroll

Yang sudah mengunjungi blog ini

web visitor statistics